Apa perjuangan itu?
Orang-orang mungkin mendeskripsikannya sebagai usaha yang dilakukan untuk mencapai sebuah tujuan, dengan perngorbanan apapun dan entah seberat atau seringan apapun itu.
Dan ya, aku juga berpikir seperti itu.
Tapi sayangnya ada yang tidak aku mengerti dengan perspektif Ibuku.
Sedikit cerita saja, aku adalah anak desa yang kebetulan disekolahkan oleh Kakak Ibuku di kota. Saat itu, ketika Aku akan menginjak sekolah menengah pertama. Anak desa sepolos diriku hanya mengangguk saja menyetujui itu, asalkan ada Ibu disisiku. Tapi sayangnya, ketika tahun kedua di kota, Ibuku harus pulang ke Desa dan tinggal lagi disana karena harus merawat Kakek Nenekku yang sudah sangat tua. Dan sekali lagi, Aku hanya mengangguk setuju, membiarkan Ibuku meninggalkanku bersama Ua-ku dikota.
Satu tahun kemudian, aku berhasil melewati masa-masa kesepian yang begitu berat untuk seorang Anak tigabelas tahun yang masih membutuhkan banyak perhatian. Namun sayangnya, perhatian itu kurang. Hidup Ua-ku hanya diselimuti pekerjaan, Ibuku sibuk dengan urusannya, dan Kakak-ku juga sibuk dengan pesantrennya, sedangkan Ayahku hidup tenang diatas sana.
Tidak ada obrolan, tidak ada pesan masuk untuk sekedar menanyakan kabar- hanya suara hening bersamaan dengan makanan dan uang yang disajikan dari Ua-ku.
Kalau dilihat, hidupku begitu monoton, dan aku berhasil melewatinya selama enam tahun bersamaan dengan tumbuhnya beberapa Uban dikepalaku. Aku tertawa, apa aku stress? padahal hidupku monoton, bahagia biasa-biasa saja walau nyatanya tidak. Aku cabut Uban itu, namun malah semakin banyak yang tumbuh.
Masa-masa sekolah akhirnya berakhir, lalu disambut dengan sebuah pilihan yang berat antara melanjutkannya atau berhenti. Disini adalah masa sebelum memuncak. Aku dikembalikan lagi pada Ibuku karena kondisi keuangan Ua-ku tengah berantakan. Ibuku hanya seorang pedagang, Kakak-ku hanya bekerja yang penghasilannya begitu pas-pasan untuk menghidupi diri sendiri. Dan Aku, menyadari kalau keputusan untuk lanjut dalam hal pedidikan bukanlah pilihan yang utama. Tidak ada biaya, alasan itu Aku pakai untuk menjadi alibi. Tapi sayangnya, Ibu menolak dan memaksaku untuk lanjut ke jenjang perkuliahan dan bilang padaku jika rezeki pasti ada nanti, ditambah Ia bersikukuh jika 'Kuliah' adalah salah satu keinginan mendiang Ayahku yang wajib dilaksanakan.
Disini, lagi-lagi Aku mengangguk saja, lalu menerima tawaran temanku untuk mendaftar ke salah satu Politeknik Negeri yang ada di Bandung. Ujian masuk sudah kulakukan, harapan tidak diterima hanya menjadi angan-angan saja. Dan lagi-lagi, Aku akhirnya menerima untuk melanjutkan pendidikan.
Biaya hidup sehari-hari, biaya kos, biaya spp, dan biaya lainnya untuk keperluan belajarku ditanggung oleh Ibuku yang berpenghasilan tidak tentu. Aku disuruh untuk tidak mempedulikan dari mana biaya itu dan fokus belajar saja. Aku mengangguk lagi, berusaha untuk tidak peduli.
Dan disinilah puncaknya.
Bagaimana bersikap tidak peduli jika Ibuku terus mengeluh padaku tentang biaya yang kekurangan. Dan setiap kali aku pulang karena libur, Ia lagi-lagi mengeluh padaku karena penghasilannya terkadang sangat kurang dan Kakak-ku yang menjadi masalah karena Ia juga terkadang masih meminta uang karena gaji yang tidak diberikan tepat pada waktunya.
Disini Aku merasa sedikit lelah, berusaha menenangkan Ibuku.
Tapi sayangnya, rasa lelah itu malah semakin memuncak kala Ibuku mengungkit-ungkit tentang perjuangannya. Ia berkata, "Disini Aku yang berjuang, kalian malah diam jadi tetap diamlah,"
Itu memang kata-kata yang tidak terlalu berarti, tapi sangat menusuk bagai tombak kayu yang dipahat dengan sangat tajam. Lantas Aku disini yang berusaha memahami, belajar sebaik mungkin, berusaha mencari cara hingga otakku sungguh penat dan melakukan semua keinginan Ibuku itu apa artinya?
Apa sebenarnya perjuangan itu?
Dan disini, Aku menyadari jika sebenarnya Aku tidak melakukan apapun, merasa apa yang telah kulakukan demi keinginannya hanyalah sia-sia. Dan inti dari ini Akulah masalahnya, seseorang yang tidak mau berjuang.
Komentar
Posting Komentar